“Happiness”, Orientasi Baru Dalam Tujuan Pendidikan Nasional​ (Part I)

“Happiness”, Orientasi Baru Dalam Tujuan Pendidikan Nasional​ (Part I)

(Endro Suseno, Mahasiswa Peserta Didik Pascasarjana Pedagogi Universitas Pancasakti Tegal)

Jika ada pertanyaan yang dilontarkan oleh seseorang kepada kita tentang tujuan hidup, kira-kira apa jawaban kita? Semisal pertanyaannya seperti ini, “Apa yang ingin Anda capai dalam hidup ini?”, kemungkinan besar jawaban kita adalah kebahagiaan. Atau menjawab lebih lengkap yaitu mencari kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.

Tapi muncul pertanyaan berikutnya, bisakah kebahagiaan itu diraih? Sementara pada tataran tujuan nasional Bangsa Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tidak tertulis secara eksplisit bahwa ada upaya untuk mencapai kebahagiaan.

Bidang pendidikan sebagai pondasi fundamental dalam membangun bangsa, merumuskan bahwa tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, yang akhirnya kecerdasan ini yang menjadi tujuan bagi para pendidik sebagai tujuan pembelajaran di sekolah. Pengukuran-pengukuran prestasi akademik didasari dengan pengukuran IQ ( Intelegent Quotient ). Nilai pencapaian hasil belajar dibuat secara kuantitas, meski ada nilai sikap sosial dan spiritual tetapi pada praktiknya pengukurannya hanya sebatas pengamatan yang tingkat kesahihannya masih dipertanyakan. Pendidik sepertinya tidak mau direpotkan dengan pengukuran nilai-nilai diluar prestasi akademik, yang pada akhirnya menyamaratakan dalam pemberian nilai sosial dan spiritual peserta didik. Dari sisi ini saja, pendidik telah mengabaikan aspek psikologis peserta didik salah satunya adalah kebahagiaan peserta didik.

Kita coba telusuri aspek kebahagiaan peserta didik pada Undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 tentang pengertian pendidikan, bahwa Pendidikan dilaksanakan dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan pendidikan menjadi pedoman dalam rangka menetapkan isi pendidikan, cara – cara mendidik atau metode pendidikan, alat pendidikan, dan menjadi tolak ukur dalam rangka melakukan evaluasi terhadap hasil pendidikan. Pengkhususan dari tujuan umum pendidikan antara lain akan menghasilkan rumusan tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional ini bersifat ideal dan belum operasional. Dalam upaya pencapaiannya, tujuan pendidikan nasional perlu dijabarkan lebih lanjut sehingga bersifat operasional dan mudah dievaluasi.  Secara hierarki tujuan pendidikan dijabarkan dari tujuan pendidikan nasional ke tujuan institusional kemudian tujuan kulikuler dan akhirnya menjadi tujuan instruksional. Pada tujuan instruksional inilah peran pendidik menjadi penting dalam merumuskan tujuan khusus dalam pembelajaranya. Apakah pendidik dapat menerjemahkan tujuan instruksionalnya dengan tepat dan konsisten sesuai dengan tujuan pendidikan nasional ataukah tidak?

Kita sering mendengar keluh kesah peserta didik yang mengalami stress akibat kegiatan pembelajaran yang sarat akan tuntutan pencapaian prestasi akademik. Misalnya tugas-tugas atau PR yang diberikan hampir setiap hari , penjelasan pendidik yang kurang jelas, tidak adanya pembimbingan yang baik oleh pendidik atau pemakaian metode pembelajaran yang kurang tepat. Belum lagi guna mencapai nilai ujian nasional peserta didik diberikan tambahan jam pelajaran di luar jam pembelajaran bahkan menggunakan waktu istirahat mereka. Apakah pendidik dan pimpinan insitusi pendidikan tidak memperhatikan kondisi fisik dan psikis peserta didik dalam upaya mencapai tujuan pendidikannya? Apakah hanya faktor kompetensi akademik saja yang hendak diraih? Sementara ada kompetensi sosial dan kompetensi spiritual yang tidak kalah pentingnya untuk diraih. Stressing kepada peserta didik untuk hanya meraih ketuntasan dalam kompetensi akademik akan membawa dampak stress pada peserta didik. Tingkat stress peserta didik ini tentunya berkebalikan dengan tingkat kebahagiaan peserta didik, dengan kata lain ketika peserta didik mengalami stress dalam belajar maka saat itu pula tingkat kebahagiaan belajar juga rendah.

Benarkah peserta didik Indonesia bahagia di sekolah? Memang benar studi PISA (Programme for International Student Assessment) pada tahun 2012 menjadi paradoks, dimana peserta didik Indonesia dilihat dari kemampuan membaca, matematika, dan sains berada di peringkat 64 dari 65 negara yang ikut serta dalam studi tersebut, tetapi menjadi peringkat pertama dalam hal “merasa bahagia di sekolah”. Hal tersebut memang menggembirakan tetapi ingat bahwa untuk mengukur kebahagiaan di sekolah, PISA hanya menggunakan satu item dimana peserta didik memilih salah satu jawaban skala dari setuju sampai tidak setuju terhadap pertanyaan : “I feel happy at school.” Apakah berarti peringkat pertama tentang kebahagiaan di sekolah dapat menggambarkan sesuatu yang sebenarnya?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 87), bahagia adalah suatu keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan, baik di dunia dan akhirat); serta hidup yang penuh. Sedangkan kebahagiaan adalah kesenangan dan ketenteraman hidup (lahir dan batin) yang meliputi keberuntungan dan kemujuran yang bersifat lahir batin.

 

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.