“Happiness”, Orientasi Baru dalam Tujuan Pendidikan Nasional (Part II)

“Happiness”, Orientasi Baru dalam Tujuan Pendidikan Nasional (Part II)

Banyak peneliti yang memberikan pengertian kebahagiaan kontemporer dalam kehidupan sehari-hari didasarkan pada pembacaan subjektif tentang kesejahteraan. Pertanyaan seputar perasaan saat ini, harapan tentang masa depan dll. Dan dari sini membangun beberapa kebahagiaan dalam waktu dan tempat tertentu. Pendekatan semacam ini didasarkan pada keyakinan bahwa ada yang namanya ‘merasa baik’ dan ‘merasa buruk’ dan bahwa orang dapat mengidentifikasi dan membicarakannya. Nel Nodding (2003:22) mengatakan ‘bahwa tampak jelas penilaian tentang kebahagiaan paling baik dilakukan oleh orang yang mengklaim atau menolak kebahagiaan’. Namun, ada juga kemungkinan bahwa ada fitur objektif dari kebahagiaan. Dapat dikatakan bahwa kebahagiaan adalah dimensi objektif dari pengalaman manusia dan bahwa itu dapat diukur (Layard 2005:224). Memang semakin mungkin untuk mengumpulkan bukti ilmiah untuk mendukung pandangan ini. Lykken 1999 dan Martin 2005 mengemukakan bahwa pertama, secara genetik, kita memiliki kecenderungan untuk tingkat kebahagiaan tertentu. Itu bisa menjelaskan sekitar 50 persen variasi yang kita temukan dalam kebahagiaan orang saat ini. Kedua, keadaan kehidupan seperti penghasilan, harta benda dan hubungan kita serta sifat lingkungan dan pekerjaan kita memainkan peranan sekitar 10 persen. Ketiga, kegiatan yang disengaja- seperti bersosialisasi, melakukan pekerjaan yang bermakna, mereflesikan dan menikmati hidup, dan olahraga dapat menyebabkan 40 persen variasi dalam kebahagiaan.

Ada juga motif normatif  untuk kebahagiaan. Aristoteles, Plato dan Socrates tampak mengklaim kebahagiaan dari kemungkinan. Yaitu, ‘mereka ingin mendefinisikan kebahagiaan dengan cara yang tidak bergantung pada kesehatan, kekayaan, dan naik turunnya kehidupan sehari-hari’ (Nodding 2003:9). Kebahagiaan bagi mereka adalah sesuatu yang merujuk pada seluruh kehidupan atau lintasan kehidupan.

Yulia Woro Puspitorini (2012: 20) menyatakan bahwa kebahagiaan merupakan suatu keadaan pikiran atau perasaan kesenangan dan ketentraman hidup secara lahir dan batin yang bermakna untuk meningkatkan fungsi diri. Kebahagiaan membuat individu memiliki kepribadian yang sehat. Suasana hati yang positif dapat membuat individu lebih obyektif menyikapi sesuatu, kreatif, toleran, tidak defensif, murah hati dan lateral atau mampu memecahkan masalah secara kreatif (Seligman, 2005: 50).

Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa definisi kebahagiaan (happiness) adalah kesenangan dan ketenteraman hidup secara lahir dan batin yang diraih melalui kepuasan pemenuhan kebutuhan dan harapan yang digunakan untuk meningkatkan fungsi diri. Kepuasan yang didapatkan individu merupakan suatu pertanda bahwa individu bahagia. Semakin individu merasa puas, maka individu semakin bahagia.

Terdapat beberapa aspek yang terkandung di dalam kebahagian. Shaver dan Feedman (dalam Hurlock, 1997: 19) berpendapat terdapat tiga esensi kebahagiaan yang disebut dengan “ tiga A kebahagiaan “, yaitu : Pertama, Sikap menerima (acceptance),  Kebahagiaan bergantung pada sikap menerima dan menikmati keadaan orang lain dan apa yang dimiliki, serta mempertahankan keseimbangan antara harapan dan prestasi. Kedua, Kasih sayang (affection), Kasih sayang merupakan hal yang normal yang dialami manusia. Kasih sayang muncul dari sikap penerimaan orang lain terhadap diri sendiri. Semakin diterima baik oleh orang lain, maka semakin banyak kasih sayang yang diharapkan. Dengan semakin banyak kasih sayang yang dirasakan, maka semakin banyak pula kebahagiaan yang dialami individu. Ketiga, Prestasi (achievement), Prestasi adalah ketercapaiannya sebuah tujuan seseorang. Kebahagiaan akan tercipta seiring dengan prestasi yang diraihnya. Jika individu memiliki tujuan yang kurang realistis, maka akan menimbulkan kegagalan yang berakibat timbulnya rasa tidak puas dan tidak bahagia. 

Andrews dan McKennell (dalam Alan Carr, 2004: 11) mengatakan bahwa hasil studi analitik terhadap ukuran kebahagiaan dan subjective well-being (SWB), menunjukkan bahwa kebahagiaan memiliki dua aspek, yaitu aspek afektif dan kogntif. Aspek afektif  berupa pengalaman emosional sukacita, kegembiraan, kepuasan dan emosi positif lainnya. Sedangkan aspek kognitif berupa kepuasan di berbagai bidang kehidupan, seperti kepuasan dalam bidang keluarga atau pekerjaan dan pengalaman kepuasan lainnya.

Kebahagiaan timbul akibat faktor yang mempengaruhi emosi seseorang. Emosi yang mempengaruhi kebahagiaan adalah emosi positif. Seligman (2005: 80) membagi emosi positif yang mempengaruhi kebahagiaan menjadi tiga jenis, yaitu emosi masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Ketiga jenis emosi tersebut merupakan faktor internal dari kebahagiaan. Selain itu terdapat pula faktor eksternal dari kebahagiaan yaitu faktor yang berasal dari lingkungan (Seligman, 2005: 66).

Berdasarkan teori kebahagian Martin E. P. Seligman dalam Authentic Happiness (2005: 45), terdapat beberapa pengaruh yang dihasilkan oleh kebahagiaan (happiness), antara lain : suasana hati yang positif, kebahagiaan memperluas sumber-sumber intelektual, fisik, dan sosial yang dimiliki, emosi positif yang membuat individu menjadi lebih kreatif, toleran, konstruktif, murah hati dan tidak defensif, lebih mudah mendapatkan teman dalam bergaul serta menciptakan hubungan yang lebih baik dengan orang lain. Dengan kata lain pengaruh kebahagian (happiness) adalah perasaan positif yang membuat individu memiliki hubungan yang baik terhadap diri sendiri dan orang lain, serta membuat diri pribadi menjadi lebih kritis dalam menjalani kehidupan.

Hasil penelitian yang dilakukan Gail & Seehy (Yulia Woro Puspitorini, 2012: 33-36) mengenai kebahagiaan, terdapat sepuluh ciri atau tanda orang yang dapat dikatakan bahagia, yaitu: (1) Hidup yang memiliki arti dan arah, (2) Mampu berfikir dewasa dan kreatif, (3) Jarang merasa diperlakukan secara tidak adil atau dikecewakan oleh kehidupan, (4) Mencapai beberapa tujuan hidup yang penting, (5) Peduli dengan pertumbuhan dan perkembangan pribadi (6) Memiliki keadaan hubungan mencintai dengan yang dicintai secara mutualisme, (7) Memiliki banyak teman, (8) Individu yang menyenangkan dan bersemangat, (9) Tidak melihat kritik sebagai serangan pribadi yang menurunkan harga diri, (10) Tidak memiliki ketakutan-ketakutan yang umumnya dimiliki orang lain.

Sedangkan dalam Authentic Happiness, Seligman (2005: 182-207) menjelaskan bahwa terdapat terdapat enam kebajikan atau tindakan mulia (karakteristik psikologis) yang dilakukan individu ketika bahagia, yaitu: Kearifan dan pengetahuan; Keberanian ; Kemanusiaan dan cinta; Keadilan ; Kesederhanaan dan Transendensi.

Pertanyaan yang paling sering kita tanyakan adalah pertanyaan “apa” – materi apa yang akan kita ajarkan? Ketika pembicaraan sedikit lebih dalam, kita menanyakan pertanyaan “bagaimana” – metode dan teknik apa yang diperlukan untuk mengajar dengan baik? Kadang-kadang, ketika masih lebih dalam lagi, kita menanyakan pertanyaan “mengapa” – untuk tujuan apa dan untuk tujuan apa kita mengajar? Tetapi jarang kita mengajukan pertanyaan “siapa” – siapa diri  kita yang mengajar? Bagaimana kualitas bentuk kedirian kita – membangun atau merusak? – cara kita berhubungan dengan peserta didik kita, subjek kita, kolega kita, lingkungan kita? Bagaimana lembaga pendidikan dapat menopang dan memperdalam kedirian dari mana pengajaran yang baik berasal? (Parker J. Palmer 1998: 4)

Kita tidak bisa berharap untuk mereformasi pendidikan, jika kita gagal menghargai dan menantang ‘hati manusia yang merupakan sumber pengajaran yang baik’ (Parker Palmer 1998: 3). Juga tidak banyak yang akan dicapai jika tidak terlibat dengan pertanyaan tentang tujuan. Seperti yang dikomentari oleh Nel Noddings (2003: 74), hingga saat ini ‘obrolan-tujuan menjadi sangat menonjol dalam teori pendidikan’, dan kebanyakan sistem pendidikan memiliki semacam pernyataan tujuan (visi misi). Jika kita percaya bahwa orang harus memiliki kesempatan untuk hidup bahagia dan memenuhi kehidupan, maka ini tidak akan berhasil. John White (1982) menempatkan kebahagiaan sebagai inti dari upaya pendidikan. Pertama, individu harus memahami secara umum apa yang menjadi bagian dari kesejahteraan mereka. Kedua, tugas pendidikan harus mencakup pengembangan kompetensi dalam kaitannya dengan pencapaian barang-barang dasar manusia tersebut. Ketiga, dan yang terpenting, kecerdasan kognitif dan keterampilan umum tidak cukup – pendidik juga memiliki peran mendasar dalam membentuk disposisi. Dengan kata lain, jika orang ingin berkembang dan bahagia mereka perlu mendapatkan berbagai disposisi atau kebajikan yang memungkinkan mereka untuk menyatukan semua ini menjadi satu kesatuan yang koheren.

Menjawab pertanyaan ‘siapa?’, pendidikan yang ditujukan untuk kebahagiaan tidak bisa dicapai hanya dengan mengajarkan tentang kebahagiaan tetapi harus dilalui dengan pertumbuhan. Ini berarti mengolah ruang untuk belajar di mana orang bisa bahagia dan membutuhkan keterlibatan pendidik yang senang dengan apa yang mereka lakukan dan berusaha untuk menjalani kehidupan sebaik mungkin (lihat Palmer 1998). Seperti yang dituliskan Nel Noddings berkaitan dengan pendidikan anak-anak: Rumah dan sekolah terbaik adalah tempat yang menyenangkan. Orang dewasa di tempat-tempat bahagia ini mengakui bahwa salah satu tujuan pendidikan (dan kehidupan itu sendiri) adalah kebahagiaan. Mereka juga mengakui bahwa kebahagiaan berfungsi sebagai sarana dan tujuan. Anak-anak yang bahagia, yang tumbuh dalam pemahaman mereka tentang apa itu kebahagiaan, akan memanfaatkan kesempatan pendidikan mereka dengan gembira, dan mereka akan berkontribusi pada kebahagiaan orang lain. Jelas, jika anak-anak senang di sekolah, pendidik-pendidiknya juga harus bahagia. Terlalu sering kita melupakan hubungan yang jelas ini. Akhirnya, pada dasarnya orang-orang bahagia yang mempertahankan hati nurani sosial yang gelisah akan berkontribusi pada dunia yang lebih bahagia. (Nel Nodding 2003: 261)

Lalu apa yang bisa kita perbuat untuk mengubah orientasi pendidikan kita agar menjadi pendidikan yang bahagia? Pertama kepedulian terhadap kebahagiaan dalam pendidikan tidak hanya terbatas di dalam kelas dan konteks pengajaran langsung. Jika lembaga pendidikan formal ingin memiliki kepedulian terhadap seluruh peserta didik maka berbagai peluang dan pengalaman lain harus ditawarkan. Ini termasuk kegiatan ekstrakurikuler dan kesempatan untuk terlibat dalam kehidupan asosiasional. Kedua melibatkan keterlibatan dengan pendidikan informal, pembelajaran masyarakat dan bentuk pendidikan yang lebih dialogis. Ketiga membuang kurikulum yang berat (kurikulum harus lebih simpel) dan mencari pendekatan serta mata pelajaran yang tidak mengasingkan peserta didik. Keempat kebahagiaan dalam pendidikan menuntut kemungkinan akses yang mudah ke konseling dan penyediaan pastoral sehingga mereka yang bermasalah memiliki sarana untuk memahami diri mereka sendiri dan situasi mereka. Semoga orientasi pendidikan kita tidak hanya menuntut pencapaian kecerdasan kognitif semata tetapi lebih menekankan pada proses pembelajaran yang penuh kebahagiaan. Pertanyaan terakhir adalah, apakah kita berani memulainya? (*)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.